Rapat Paripurna DPR pada Maret 2008 lalu, telah mengesahkan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi sebuah UU berkekuatan tetap. Hampir seluruh anggota dewan dari sepuluh fraksi yang ada di DPR menyetujui RUU ini menjadi undang-undang informasi dan elektronik pertama Indonesia.
Undang-undang yang sudah dipersiapkan sejak Januari 2007 ini secara efektif diberlakukan pada bulan April 2008 ini. Berbagai tanggapan dan reaksi muncul di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat di dunia maya. Salah satu bentuk reaksi tersebut adalah dengan dibobolnya situs resmi kementrian komunikasi dan informasi serta situs partai besar golongan karya oleh seseorang yang identitasnya “tidak dapat dikenali”.
Tampaknya, pemerintah Indonesia yang didukung pakar Telematikanya yang terkenal Roy Suryo, belum siap benar mengimplementasi undang-undang ini ke “medan perang” kejahatan cyber yang sebenarnya. Yang paling mencolok dan patut dijadikan pelajaran bagi pemerintah dari “perang pembukaan” terhadap kejahatan elektronik ini adalah ketidaksiapan pemerintah dalam mempersiapkan perangkat tekhnologi dan sumber daya pelaksana undang-undang ini. Lebih dari itu, langkah awal pelaksanaan UU ITE ini secara tidak disadari memantik hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah dan kalangan hacker.
Sebenarnya, ketidakharmonisan ini tidak seluruhnya berasal dari susunan pasal-pasal yang sudah disusun dengan rapi oleh pemerintah. Tetapi kenyataannya, wacana yang dikembangkan oleh pemerintah, Roy, dan beberapa media massa seolah menjadikan hacker sebagai objek hukum yang berpotensi menimbulkan kejahatan ITE.
Salah Kaprah di Dunia Cyber
Yang lebih parah, baik Roy Suryo maupun Muh. Nuh, dan beberapa media rupanya sudah terlanjur menyatakan komitmen perangnya terhadap “semua komponen” dunia cyber yang dianggap memiliki potensi melakukan kejahatan tanpa merumuskan definisi yang jelas bagi masing-masing pelaku dunia cyber. Pemerintah dianggap beberapa kalangan seperti berperang dengan semua elemen dunia maya karena menyamaratakan beberapa elemen itu sebagai “biang kejahatan” dalam jaringan telekomunikasi, media dan elektronik (Telematika) ini. Salah kaprah itu ditunjukkan mereka dengan seringnya menyamakan definisi carder dan cracker sebagai hacker.
Bahkan, dalam beberapa pemberitaan media massa online terakhir, secara sembrono media menyebut hacker sebagai tertuduh dibobolnya situs menkominfo dan partai berlambang beringin itu. Kecenderungan memukul rata semua “aktivis jaringan” ini sebagai potensi pelaku kejahatan jelas-jelas menunjukkan disorientasi pemerintah terhadap objek hukum penerapan undang-undang ini. Dalam konteks ini, Roy Suryo maupun pemerintah seolah-olah menempatkan posisi hacker sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam.
Salah kaprah tentang peran hacker ini pernah mencuat sedemikian hebohnya di Indonesia pada saat Dani Firmansyah membobol situs KPU beberapa tahun silam. Dani bukannya dianggap sebagai pahlawan demokrasi Indonesia karena telah membantu menunjukkan celah keamanan pesta demokrasi (pemilu) kita pada waktu itu, tetapi secara gegabah justru ditangkap dan dipenjara selama enam bulan layaknya pelaku pencurian ayam. Sedikit sekali yang memandang perbuatan salah satu hacker potensial yang dimiliki Indonesia ini sebagai sesuatu yang dapat menyelamatkan kelalaian KPU itu dari kerusakan parah yang lebih signifikan. Dapatkah anda membayangkan jika hasil perolehan sementara hasil pemilu yang dirilis KPU lebih dulu, dimanipulasi orang yang tidak bertanggung jawab menjadi kemenangan milik seseorang atau partai tertentu padahal kenyataannya kemudian tidak sesuai dengan persepsi awal masyarakat?.
Padahal, di Amerika, hacker yang disebut sebagai “pembobol” (apa saja) oleh pemerintah Indonesia ini justru mendapat tempat yang cukup prestisius di mata rakyat dan pemerintah Amerika hingga dijadikan garda depan penerapan cyber law dalam teritori mereka. Bahkan, dalam waktu dua tahun sekali, pemerintah Amerika menyediakan hadiah jutaan dollar bagi mereka sebagai hadiah kompetisi yang disebut sebagai “cyber storm competition”. Yang lebih hebat, pemerintah Amerika melalui dinas intelijennya justru mengundang perwakilan hacker dari kalangan Black Hat yang biasa melakukan kejahatan di dunia maya ini untuk menjadi peserta dalam kompetisi yang mensimulasi pembobolan sistem keamanan cyber institusi pemerintah Amerika itu sendiri!
Kompetisi yang komposisinya diisi oleh undangan khusus dari hacker black hat dan white hat terbaik di dunia ini, secara radikal mempersilahkan para hacker tersebut untuk mengeluarkan kemampuannya untuk membobol sistem keamanan tekhnologi informasi pemerintah yang ditempatkan pada instalasi-instalasi penting seperti stasiun kereta api bawah tanah, pusat pembangkit listrik dan stasiun-stasiun senjata pangkalan militer.
Meski kompetisi ini dilakukan dalam bentuk simulasi, tetapi hasil yang diperoleh terkadang mengagetkan semua kalangan. Bagaimana tidak? Selama kompetisi ini digelar, selalu terdapat celah baru yang berhasil “dibobol” para hacker. Hasil kompetisi ini kemudian dijadikan bahan kajian pemerintah Amerika untuk lebih meningkatkan kemampuannya dalam bidang keamanan IT sebagai antisipasi masa depan kemungkinan kejadian buruk seperti yang pernah menimpa Indonesia terulang.
Lantas, apa dan siapa sebenarnya hacker yang di satu sisi menjadi agen dan ujung tombak penerapan hukum di dunia cyber negara yang memiliki tingkat penguasaan IT tertinggi di dunia, tetapi di sisi lain justru dijadikan sebagai “biang kerok” kejahatan cyber di Indonesia yang notabene masih terbelakang sangat jauh di bidang ini?
Jika kita tilik mendalam, secara definitif memang belum ada definisi yang dapat menggambarkan eksistensi hacker secara utuh. Akan tetapi, jika dilihat dari dinamika dan tingkat penerimaan definisi di kalangan hacker itu sendiri, sebutan hacker ini tidak lepas dari kecenderungan seseorang yang bergelut di dunia jaringan, programming dan sistem keamanan informasi. Secara fungsional, seorang hacker biasanya melakukan kegiatan hacking atau penelitian sistem keamanan IT dengan menggunakan cara-cara yang biasanya dianggap tidak lazim dan terkesan ekstrim.
Padahal, dalam kenyataannya, seorang hacker pada dasarnya memiliki tujuan untuk memperbarui sistem keamanan IT maupun programming yang lebih baik. Dari definisi yang biasa berlaku umum di dunia hacker ini, dapat kita lihat, jika seorang hacker paling tidak harus memiliki wawasan dan kemampuan tekhnis tertentu yang tidak kita dapatkan dalam bangku pendidikan formal. Selain wawasan IT yang luas dan selalu berkembang, seorang hacker juga dituntut kemampuan penguasaan jaringan, programming dan sistem keamanan yang matang.
Hanya saja, dalam perjalanan mereka sejauh ini, layaknya manusia yang memiliki kemandirian cara pandang dan tujuan hidup yang berbeda unik, sebagian hacker ini kemudian ada yang menyalahgunakan kemampuannya untuk hal-hal negatif yang merugikan. Karena itulah, secara garis besar, hacker dikenal menjadi dua aliran yang disebut black hat dan white hat.
Perbuatan negatif yang dikenal sangat berbahaya dan dilakukan oleh beberapa gelintir black hat ini secara spesifik dibagi lagi berdasarkan metode dan objek kejahatannya. Yang pertama dikenal sebagai cracker atau pembobol “kunci semua pintu” produk ataupun program IT baik untuk tujuan iseng maupun tujuan profit. Kedua, beberapa “oknum” black hat ada yang secara profesional terfokus atau tertarik untuk menjebol berbagai macam kartu elektronik yang dapat diakses melalui sistem jaringan IT murni untuk kepentingan mencari keuntungan saja. Spesifikasi kerja di bidang pembobolan kartu inilah yang akhirnya melahirkan sebutan carder bagi para pelakunya.
Ketidakfahaman pemerintah, media dan masyarakat terkait diluncurkannya UU ITE akhir-akhir ini melahirkan stigma buruk yang cukup merugikan bagi kalangan hacker secara umum. Stigma yang salah kaprah ini dikhawatirkan justru memperburuk efektifitas UU ITE itu sendiri. Mengapa?
Hal ini disebabkan oleh starting point position yang dilakukan pemerintah, Roy Suryo dan beberapa media massa telah salah menempatkan salah satu sendi dunia maya (hacker) ini dalam posisi potensial pelaku kriminal. Bukannya malah menjernihkan permasalahan yang semakin melebar, Roy sebagai pakar telematika versi pemerintah ini malah terkesan “mengancam” mereka dengan tekanan kalimat di media massa yang mengesankan kebencian yang mendalam.
Untungnya, pernyataan dan sikap kurang bersahabat dari kalangan yang kurang memahami eksistensi hacker ini masih ditanggapi oleh beberapa kalangan hacker di Indonesia dengan pernyataan-pernyataan “bernada canda” yang beredar di web-web khusus IT ataupun pesan singkat pada situs-situs yang dibobol beberapa hacker yang “gemas” dengan sikap Roy dan pejabat parpol yang terburu-buru mengesahkan rancangan UU ini.
Saya tidak bisa membayangkan, jika pemerintah yang “hanya” didukung sendiri oleh Roy yang dikenal masih “hijau” dalam urusan “hacking” di dunia maya ini mendapat serangan “serius” dari para hacker dan mendapati bursa efek Jakarta ataupun sistem komunikasi militer menjadi kacau balau. Bukannya malah mendapat manfaat positif dari kemampuan langka para hacker, kalangan yang secara implisit menyatakan perang “salah sasaran” kepada hacker di seluruh dunia ini semakin memperlemah bargaining positionnya di dunia cyber crime yang luas dan misterius.
Menjajaki Peran Hacker Sebagai Ujung Tombak Pelaksanaan UU ITE
Tulisan ini secara epistemologis tidak bermaksud membela ataupun menjatuhkan kelompok-kelompok yang sampai saat ini berada dalam posisi yang bersebrangan jauh dengan fungsi dan asumsinya masing-masing. Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai cermin masa depan pelaksanaan UU ITE yang sedang terancam resistensi massal komunitas cyber termasuk beberapa kelompok hacker yang masih aktif melakuan “riset” dengan cara-caranya yang unik. Resistensi ini timbul akibat ulah sikap pemerintah yang masih belum mau “bersahabat” dengan “hantu-hantu” penghuni dunia maya itu sendiri, hacker.
Jika saja kita mau belajar dari Amerika yang lebih maju dan dewasa bersikap seperti yang dicontohkan dalam konteks pelaksanaan cyber law mereka, maka hubungan simbiosis mutualisme pemerintah dan komunitas hacker ini akan menjadi kunci sukses tujuan UU ITE ini.
Jika saja kita mau belajar dari Amerika yang lebih maju dan dewasa bersikap seperti yang dicontohkan dalam konteks pelaksanaan cyber law mereka, maka hubungan simbiosis mutualisme pemerintah dan komunitas hacker ini akan menjadi kunci sukses tujuan UU ITE ini.
Jalan setapak masa depan dunia IT kita masih terbentang jauh di depan kita. Dan seluruh dunia tidak dapat mengelak untuk memasuki dunia “lelembut” tanpa batas geografis ini. Tetapi, pemerintah Indonesia jelas masih jalan sendiri dalam pelaksanaan UU ITE ini. Tentu salah besar jika kita menolak bekerjasama dalam koridor tujuan yang positif dan saling membangun demi tercapainya kehidupan harmonis di masa depan yang mulai tergantung pada inovasi tekhnologi komunikasi elektronik dengan para hacker sebagai motor dan pakar didalamnya.
Harus kita akui, jika kita saat ini Indonesia masih tertinggal jauh secara tekhnologi dari negara-negara lain. Tetapi saya tidak pernah meragukan jika hacker Indonesia mampu menjadi inspirasi perkembangan tekhnologi komunikasi elektronik bagi generasi kita di masa mendatang dan bukannya menjadi musuh pemerintah dan agen-agennya. Lihat saja tren dunia maya saat ini, hampir tidak ada informasi yang tidak bisa didapatkan dengan mudah. Semua bebas. Tetapi dibalik kebebasan itu, terpendam situasi “Forest Law Cyber” yang memungkinkan manusia menjadi liar tidak terkontrol seperti yang ditunjukkan oleh kalangan carder maupun cracker. Disinilah peran dan fungsi hacker diharapkan dapat mengatasi inovasi modus operandi yang lebih canggih yang dilakukan para carder maupun cracker dan pelaku cyber crime lainnya.
Belum terlambat bagi kita untuk mulai membangun sinergisitas ini sekarang. Langkah awal tentunya dapat dimulai dengan mendudukkan masing-masing elemen terkait dalam suatu perumusan visi yang dilandasi komitmen kuat untuk saling membangun. Jika ini terealisir, pemerintah Indonesia berpeluang mencatatkan namanya dalam sejarah masa depan sebagai negara pertama yang mengakui hacker sebagai sebuah profesi yang bermartabat dan dilindungi secara hukum. (Pengamat IT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar